Minggu, 05 Juni 2011

Cermin-cermin Retak

Menjelang tengah malam, aku baru hendak menyelesaikan bacaanku ketika suara teriakan dan jeritan tangis itu terdengar. Detak jantungku mulai panik dg aliran darah yg serasa akan terhenti. Tetangga sebelah berjarak lapangan Bulu tangkis, aku tau pasti.Berusaha menarik nafas dan mengabaikan, krn meyakini ada tetangga lain yg akan peduli. Aku menguatkan hati untuk tak beranjak.Kesendirian menjadi satpam rumah yang gelisah semakin membuyarkan minat untuk terlelap. Hingga beberapa saat kemudian, trdengar ketukan pintu dgn suara bocah memanggil namaku.Aku tersentak. Dengan langkah lunglai aku menuju pintu dan membukanya.Allah Robb..Tiga pasang mata bening dg air mata yang membanjir mendongakkan wajah berharap perlindungan. Aku lansung menarik mereka masuk, menutup pintu, kemudian mendekap mereka erat. Memberi ruang aman untuk memecahkan tangis dan melepas ketakutan.Dua jam kemudian, bidadari-bidadari dan malaikat kecil itu terlelap di kamarku.Air yg sejak tadi membendung dikelopak mataku tumpah bersama barisan istigfar dan ta'awuz.Menatap wajah mereka br-3 semakin membuatku tergugu. Sesak.Aku tau yg paling besar dr ketiganya baru duduk dikelas 2 SD, yg no.2 laki-laki baru berusia 5 thn, dan yg paling meluluhkan hati bidadari kecil 3 tahun. Saat aku membuka pintu td, aku temukan kakaknya yg paling besar menggendong adik bungsunya, dan adik laki2nya menggenggam erat selimut, berdiri disamping kakaknya. Mereka mengenakan pakaian tidur.Yaa Hafiidz..Kurasakan ruang2 pemberontakan dlm diriku ingin menggerakkan tangan menampar wajah-wajah mereka yg tlah menyebabkan ketiga adik-adik itu menumpahkan air mata utk prmasalahan yg tdk mereka mengerti.Jika sj boleh ingin sekali mmberi warning pada mereka. "jika tdk siap menjadi orang tua, jangan lahirkan mereka!!!".Ah..Geram!!!Ini benar-benar tdk adil.Apapun alasannya, tidak semestinya mereka sebagai orang dewasa lebih-lebih sbg orang tua, mempertontonkan konflik dan pertengkaran dihadapan anak-anak.

Lagi..

Untuk yg kesekian kalinya, Kailulah ku terusik oleh suara bentakan dan suara tangis mengaduh dengan teriakan kesakitan.

Tetangga sebelah yg tengah mengajarkan putra 6 thn nya bagaimana "menggunakan" tangan dan ranting pohon untuk merasakan sakit di betis dan punggung.

Barisan istigfar dan ta'awuz menjadi andalan untuk menahan diri agar tdk trbawa arus emosi.

Keluar kamar, aku temukan Bunda tengah menuntun bocah kelas satu SD yg masih bersimbah air mata itu memasuki rumah kami.

Aku menghela nafas, pahit.

Garis-garis merah membentang disekitar betis dan punggung yg tdk brlapis baju.

"Kalo mau berlatih memukul jangan sama anak, tp sama sapi!!" aku bergumam kesal dalam hati.

Tp aku meralat lg gumamanku. "Bahkan sapi pun layak diperlakukan baik, tdk dipukuli sembarangan".

***

Diwaktu lain, saat takziah..

Saat tiba di rumah duka, aku temukan bidadari kecil 5 tahun itu tengah bermain ceria dg teman2nya. Aku tau pasti, dia tdk mengerti dg apa yg trjadi. Hanya tau ada byk orang, dan teman2nya ramai berdatangan. Hal yg menyenangkan tentunya.

Tiba-tiba seorang wanita dewasa yg aku tau sbg Bibinya memanggil, dg mata sembab yg brduka, wanita itu meraih anak perempuan yg tengah bermain dan tertawa di halaman.

Membawanya masuk rumah mendekat ke sosok yg jiwanya tlah menghadap Sang Pencipta.

Dengan ratapan dan sedu sedan, si Bibi berusaha membawa keponakan kecilnya dlm arus kesedihan dlm ruangan itu. Sukses! Si keponakan ikut menangis.

Tapi aku tau pasti, bocah perempuan itu menangis bukan karna mengerti dg kesedihan yg di 'doktrinkan' oleh Bibinya, tp menangis krn panik dan ketakutan melihat begitu byk orang menangis.

Anak perempuan itu berusaha melepaskan diri dan berteriak "ndak mau! ndak mau!". Sambil memukul2 kepala Bibinya dg tangan mungil yg trkepal. Si Bibi makin erat mendekapnya dg tangis yg makin seru.

Dan aku lega ketika seorang laki-laki dewasa berusaha meraih bocah itu, mmbawanya keluar.

Beberapa saat kemudian, aku sudah melihat wajah cerianya dg membawa sepiring nasi dg lauk, berjalan menuju teman2nya..

Dalam banyak peristiwa yang aku lihat dan temui, begitu banyak hal tidak adil yg di pertontonkan dan dilakukan oleh mereka-orang orang yg disebut dewasa-terhadap bidadari bidadari kecil dan malaikat malaikat polos yang bermata bening.

Orang-orang dewasa yg justru adalah orang tua dan keluarga dekat mereka, yg seharusnya menjaga agar binar-binar keceriaan di wajah mereka tetap terjaga, hingga dewasanya menjadi sosok Qurrata ayyun wa ja'alna lil muttaqina imama.

Bukan merampas senyum mereka lalu menggantinya dg tangis dan ketakutan sebab konflik dan kesedihan yg sama sekali bukan bagian untuk dikonsumsi mereka.

Tidak.!

Bukan dg kayu atau cubitan mengajari mereka taat.

Bukan dengan bentakan dan amarah memberi tau mereka hal yg benar.

Bukan dg bertengkar dihadapan mereka untuk melatih menjadi pemberani.

Bukan dg mengajak mereka menangis untuk menanamkan rasa peduli.

Tidak! Tidak demikian!!

Ingin tertawa rasanya mendengar seorang wanita dewasa brtanya pada anaknya dg suara mmbentak "siapa yg ajarin kamu menjawab orang tua dg berteriak?! Hah?!"

ingin sekali menjawab wanita itu "anda tdk mengajarkan, tp mencontohkan".

Ada lg yg memarahi anaknya "sy tdk pernah ajar kamu berkelahi, kenapa kamu brkelahi tiap hr sm adikmu?!".

Lagi, aku ingin mengingatkan "anda mencontohkan dg brkelahi hampir tiap hr dg suami dihadapan mrka".

Ingin sekali mengingatkan, bhw mereka para malaikat dan bidadari kecil itu, tdk perlu diajari byk, krn mereka Peniru Contoh Yang Ulung atas apa yg mereka lihat, dengar, n temukan.

Maka..

Pleaseee..

Sbg org dewasa, jangan berikan cermin retak pada mereka..

"Anak-anak kita"

Berjanjilah!!!

* dengan cinta, untuk smua anak fitrah di bumi

Tidak ada komentar: