Kamis, 30 Juni 2011

Daun-daun Gugur

Senja yang belum usai dan sebatang pohon yang meranggas.
"maaf tlah menggugurkan daun-daun mu" tutur angin lesu..
"sudahlah.. bukan salah mu, ini takdir, dan ini lah musim kemarau yang harus aku lewati.. tidak perlu merasa bersalah, pada saatnya musim berganti akan ada barisan hujan yang akan menumbuhkan helai-helai baru di ranting ku.. aku tlah melewati banyak pergantian musim, dan smuanya akan baik-baik saja.. "
segaris senyum ketegaran diberikan pohon pada angin.
"pergilah.. kau harus menebarkan serbuk sari pada bunga-bunga mekar yang menunggumu, mereka membutuhkan mu.. "
pohon kembali meyakinkan angin.
"maafkan aku.." angin berlalu, masih dengan gerak yang lesu.


* in memorial

Sebaris Do'a Di Ranting Mawar

Detak waktu yang menghampar kain hitam menjadi mihrab malam,
Bersama purnama yang enggan di balik awan,
"Sampaikan padaku apa yang ingin engkau tuturkan.." pesan bumi pada angin.
"Aku hanya ingin engkau kembali menumbuhkan pohon-pohon ketegaran yang dulu lebat menghutani tiap jengkal tanahmu, karna aku menangis tiap kali melihatmu rapuh dan terkikis" jawab angin memohon.
Bumi tertegun diam.
Mendongak mencari wajah bulan..
" Kami merindukan mu setegar dulu, tentang air matamu yg mahal terbeli, dan senyum gratismu yg bertebaran" Bisik bulan di akhir tatapan yg tenggelam dalam mendung.
Dan angin berlalu dg senandung lirih yg menjadi do'a, melewati ranting-ranting mawar yg tengah menggugurkan kelopak kembangnya.
"semoga kuncup-kuncup baru segera tumbuh dan mekar menjadi bunga.."

Sepenggal Episode Dipersimpangan

“Tak ada yang meragukan tentang kebaikanmu, dan karna itulah tempatmu bukan disana. Sebagai sahabat terdekatmu aku sarankan untuk berhenti! Jalan itu tidak mudah! Taruhanmu terlalu besar sedangkan kau masih bisa mendapatkan tempat yang lebih baik.”
Aku tertunduk diam. Tak ingin membantah apapun dari uraian panjangnya. Karna aku tau, aku tidak sedang berada dalam posisi yang tepat.

**
“Sumpah! Kami sangat kecewa. Teramat sangat kecewa! Sama sekali tidak mengenalmu dengan keputusan ini.” Tatapan para sahabatku terasa begitu tajam dan mendakwa. Entah bagaimana, tatapan yang sebelumnya berpihak kini berada dalam barisan jaksa penuntut juga.
Kurasakan sesak itu mulai menyeretku ke sudut.
“Aku belum mengambil keputusan. Aku baru sampai pada kosa-kata : Bagaimana Jika” Tapi kalimat penjelasanku tercegat ditenggorokan. Aku tidak perlu memberi pembelaan apapun. Mereka ingin aku “Berhenti” itu saja.

***
Langkah itu baru saja hendak dimulai. Tapi badai tlah menampakkan diri dengan arakannya.
Rasanya aku memang tidak sedang berada dalam posisi yang Emergency untuk berada ditempat itu. Dan aku harus kembali pada titik seharusnya aku berada.
Episode ini harus segera usai.

****
Hanya pada Ridho-Mu semua ini bermuara..

Dalam Harmoni Semesta

Menjelang dhuha bersama belaian angin lembut yang menyentuh wajah, dibawah rindang pohon jambu mete yang bekolaborasi dengan rimbunnya daun-daun mangga harum manis. Diatas hamparan pelepah daun kelapa kering, berbaring sejenak dan memejamkan mata, menikmati cericit burung sawah yang rewel, nyanyian tenggoret yang nyaring, lenguh sapi yang tengah menikmati hidangan dari bumi, dan sehelai daun jatuh menerpa wajah.
Begitu damai, dan terasa hangat dengan sentuhan sinar matahari yang menerobos celah ranting.
Instrument yang indah dan sempurna dengan lukisan pegunungan utara, serta laut biru membantang arah selatan.
Sepenggal episode yang mengisi ruang-ruang jejak peralihan melintas memenuhi lorong-lorong ingatan. Ingin berhenti tapi tertahan. Aku menghela nafas, mengalihkan layar menuju sosok-sosok sederhana yang luar biasa yang aku temui ditengah kepulan asap tungku kayu dan aroma bumbu. Aku tersenyum..
Kehidupan yang cantik dan alami.
Rasanya aku mulai enggan beranjak. Ingin tetap disini, mengalir menjadi bagian dari instrumen yang gemiricik dicelah batu sungai, deras dan tetap bisa mempertahankan kebeningan..
Tapi tidak..
Pada akhirnya aku harus "pergi" untuk mencipta simphoni sendiri dengan titi nada yang aku miliki.
Alam, terimakasih mengajariku bijaksana..


(Negri Bidadari, Jum'at 13/05/2011)

Sepenggal Kenangan Dalam Senja

Sebatang pohon jambu mete rebah dengan ranting-ranting menyentuh tanah, menarik langkah untuk mendekat, lalu duduk menjuntai kaki diatasnya.

Warna jingga mulai memenuhi ruang arah barat dengan sebongkah matahari yang menuju tenggelam.
Cantik..
Sempurna.
Dengan pantulan kilau diatas riak laut yang tenang di kejauhan.

Satu episode memasuki ruang ingatan, memenuhi layar dengan lukisan bocah perempuan 7 tahun yang slalu 'menipu' pandangan sekilas orang lain karna ia lebih terlihat sbg bocah laki-laki.

Gerak lincahnya yang ikut berlari mengejar belalang besar hijau diantara pohon turi, tangannya yang pemurah melempar buah timun muda hasil ladang pamannya ke arah primata lucu diantara ranting-ranting pohon pinggir sungai, mulutnya yg lahap mengunyah tomat-tomat matang yg baru dipanen dr pohonnya, lengan mungil dg telapak tangan menggenggam pelepah pisang sbg pedang dan kepala yg terikat dg ekspresi jagoan saat brmain perang-perangan.
Oh ya..
Tentu saja tak terlewatkan tentang pohon-pohon yg tdk luput dari panjatannya.

Petualangan itu bermula disini.

Melintasi padang ilalang berburu telur-telur mungil para ibu puyuh yg malang, meretas jarak 2 km dibawah terik siang menuju pantai hanya untuk berlari mengejar bunga 'rumput lari' berwarna kuning dg duri-duri jenjang yg menjadi kaki dan disukai angin karna langkah-langkahnya begitu memukau saat dikejar. Menapak bukit-bukit dg jalan berdebu sambil mendekap erat 'bayi' pohon kehidupan untuk dipersembahkan bg bumi.
Memasuki wilayah rimbun pepohonan yg saat itu disebut hutan 'simbit'. Mencicip setiap buah yang menarik perhatian, dan tentu saja tdk smuanya layak dikonsumsi.

Tertawa dg mata menggenang.

Tdk peduli atas alasan apa sepenggal episode itu hadir menjadi bagian dr hidupku.

Yang aku tau, hari ini, dan seterusnya, aku mensyukurinya..

Episode yang mengajarkan untuk melepas tawa, menerbangkan teriakan, dan tentu saja menghimpun energi kekuatan.

Terimakasih semesta.. :)


***
in memorial
(Negri Bidadari, Kamis-4/5/11)

Jawaban Waktu

Dalam banyak kondisi dan peristiwa kehidupan yang menyandang luka serta kesedihan, juga ribuan tanya "kenapa???", kita sering kali bahkan slalu berhara Waktulah Yang Akan Menjawab.
Tidak salah memang, tapi tidak juga slalu "benar" untuk bersandar pada jawaban waktu. Karna dalam bilangan tertentu, sering juga Waktu menjadi ruang yang mengakumulasi tanya dan permasalahan, menimbunnya, lalu meledakkan nya seperti bom yang meluluh lantak kan bangunan kehidupan kita.
Than, menghadapi masalah, mencari jawaban atas tanya, adalah jalan utama yang harus kita tempuh untuk menyelesaikannya. Sebelum akhirnya waktu memberi jawaban pada kita apakah kita akan memenangkan pertarungan dan mendapat jawaban, atau kita gugur sebagai The Fighter secara terhormat. Bukan mati tak berdaya sebagai orang-orang yang lemah dan dikasihani.
Ayo!!! Hadapi.!!!