Selasa, 02 Maret 2010

Pada Bilangan Waktu..

( Fiksi )

Senja yang sempurna di pantai dengan pasir putih yang eksotik, aku menikmati keceriaan yang tersaji hangat beberapa meter dihadapanku, dua bocah laki-laki dan perempuan yang menggemaskan tengah membangun istana pasir dibimbing seorang wanita dewasa yang cantik dan anggun menyejukkan pandangan, dan sosok wanita muda awal 30-an tahun yang begitu bersemangat dan energic terus menerus mengabadikan aktivitas mereka dengan camera dan handycam nya secara bergantian. Aku tersenyum ketika sepasang mata wanita muda itu terarah padaku, ia membalasnya dengan anggukan kecil, aku mengerti wanita itu memintaku bergabung, tapi aku sedang ingin menikmati sisa matahari yang akan tenggelam dan wanita itu kembali sibuk mengbadikan aktivitas dan moment yang ada dihadapannya.
Sosok itu, aku bertemu dengannya kembali, tak sengaja, tak terduga. Aku tau sejak pertama kali mengenalnya bahwa ia berasal dari pulau kecil yang indah dan ramah ini, tapi bertemu lagi dengannya dalam kondisi seperti sekarang bukanlah hal yang pernah masuk dalam persangkaanku.
Takdir. Ya, takdir yangi telah tertulis itulah yang menuntunku untuk dapat melihat dan mengetahui kabarnya setelah bertahun-tahun lalu ia menghilang tanpa jejak, dan kali ini, ia akan membersamai ku, tepatnya aku dan keluargaku yang tengah mengisi liburan selama satu pekan. Sosok itu, wanita yang sama dengan yang aku temui pada bilangan masa 12 tahun yang lalu.
Wanita yang dengannya aku pernah menulis sepenggal episode dalam sejarah hidupku selama 4 tahun, lalu takdir pun membuat kami harus melanjutkan perjalanan sendiri-sendiri, saat yang berat dengan keputusan yang sulit dalam bagian cerita kehidupanku dimasa lalu, tapi ia-wanita itu, menguatkan ku dengan keikhlasan dan kerelaan hatinya.
“ Aku akan memilih untuk tetap dalam kesabaran, hingga waktu memberiku tempat untuk menyempurnakan bilangan sayapmu dikesempatan ke-2, ke-3, ato mungkin yang ke-4, tapi jikapun aku bukan bagian dari pasangan sayapmu dan benar-benar tidak bisa terbang bersamamu, aku masih punya sepasang kaki yang kokoh untuk bisa melanjutkan perjalanan ini sendiri, jangan mengkhawatirkanku, aku ridho, maka terbanglah.. “
Dan hari ini, setelah bertahun-tahun kemudian aku temui bukti dari keteguhan hatinya, keteguhan hati yang membuatku mencemaskannya. Cemas, karna aku merasakan formasi hidupku sudah sempurna dan tidak memiliki celah ruangan lagi untuk di isi, betapapun waktu tlah memberiku jawaban atas keteguhan hati wanita itu untuk menunggu ada ruang tersisa untuknya dalam hidupku. Ah.. galau.. aku masih mengkhawatirkannya..

Senja dihari terakhir dengan keindahan yang tetap sempurna, aku menyempatkan menemuinya sendiri.
“ Terimakasih, kau tlah begitu baik membersamai kami, besok kami akan pulang.. “ aku memulai perbincangan itu dengan perasaan yang kaku. Wanita itu menatapku sejenak, lalu tersenyum dan mengalihkan pandangannya keluar garis pantai, jauh ketengah lautan yang tak berujung.
“ Bukankah dari dulu aku memang selalu baik.? Kenapa baru sadar sekarang.?“ kali ini ia tertawa kecil, dan kekakuanku pun turut mencair. Keceriaan itu, yang bertahun-tahu lalu mengisi ruang hariku, masih ada. Aku lega..
“ Sepertinya, kau begitu sibuk, dan duniamu begitu menyenangkan, kenapa masih menikmatinya sendiri? “ aku mencoba menyentuh ruang privasinya, aku yakin ia akan memahami maksudku. Dan wanita itu tersenyum,,
“ Kau sudah mengetahui jawabannya,, “ ia kini menatapku. Aku menghela nafas berat. Aku merasa cemas lagi..
“ Aku sudah merasa tercukupi dengan kehidupan yang aku miliki sekarang..” aku mengucapkan kalimatku dengan ketegasan yang berat, berharap ia memahami posisiku yang bisa menjadi sulit kembali jika ia tetap mempertahankan keteguhan hatinya..
Sosok dihadapanku itu merespon dengan senyum dan tatapan yang dalam.
“ Aku juga.. “ jawaban itu begitu tegas dan tak terduga. Aku kehabisan kata..

Jeda yang sepi, aku masih belum menemukan kosa-kata lagi.
Aku menghela nafas dan menganggukkan kepala.
“ Baiklah.. “ jawabku dengan perasaan gamang dan entah..

Dan kembali, wanita itu melepaskan senyumnya dengan begitu ringan..
“ Hidup ini adalah catatan rahasia dari takdir-NYA, aku malu meminta lebih, hanya meyakini bahwa TUHAN pasti akan memberi yang terbaik, entah dalam bentuk apapun itu, hanya perlu menerima dan merasa tercukupi. Aku turut bahagia dengan hidupmu..” Kalimat itu mengalir dengan begitu yakin dan tulus, seperti rangkaian instrument keikhlasan yang pernah ia berikan untuk menguatkan ku saat harus mengambil keputusan delapan tahun lalu.
Aku mencari tangga nada itu dimatanya, dan menemukan tatapan telaga cahaya yang tak terbaca, aku menguatkan diriku yang mulai tergoyahkan.

Dan mataharipun tenggelam bersama guratan merah yang perlahan berganti gelap..


Selong, 28022010

2 komentar:

Awan mengatakan...

Kisah yang..... Salam

SUNISA FUJIYANTI mengatakan...

Terimakasih... :)