Selasa, 20 Oktober 2009

Ketika ”Rasa” dan ”Logika”..

Siang itu, aku tengah menikmati istirahat dikamar seorang sahabat sambil mendengarkan alunan nasyid-Maha Melihat- nya Opick dan Amanda dari Winamp Laptop, tiba-tiba ringtone soundtrack film religi yang lagi booming terdengar dari HP yang tergeletak disamping ku, aku melihat satu deret nomer tanpa nama, sahabat ku yang juga berada disampingku melihat layar dan sebaris kerutan terukir dikeningnya..
“siapa?” tanyaku..
Sahabatku mengangkat bahu dan mengangkat HP nya, beberapa detik kemudian terdengar sahabatku itu menjawab salam seseorang, dan sejenak tatapannya mengarah kepadaku sambil menyebut nama seseorang tanpa suara, aku lansung mengenal gerakan bibirnya untuk satu nama itu, nama seseorang yang beberapa waktu sebelumnya pernah ia ceritakan begitu detail padaku, seseorang yang pernah menyatakan diri untuk datang bersama keluarganya, tapi takdir tak memberi kesempatan untuk itu, aku tersenyum pada sahabatku dan memintanya mengaktifkan handsfree agar bisa turut mendengar percakapan mereka, sahabatku mengangguk dan satu suara bariton terdengar..
”apa kabar, sehat?” suara itu memulai percakapan
”alhamdulillah baik dan sehat..” sahabatku menjawab datar
Dan rentetan percakapan lainnya masuk kedalam sistem pendengaranku dengan teratur dan apa adanya, suara dari sebrang itu bercerita tentang aktifitasnya yang baru kembali dari suatu daerah yang beberapa waktu lalu terkena bencana gempa, pemilik suara tersebut menjadi relawan bersama tim medis lainnya.
Biasa,, aku membatin, dan aku merasa tidak ada yang perlu aku khawatirkan dari percakapan mereka, sampai beberapa saat setelah bercerita, aku mendengar sahabat ku bertanya dengan suara yang ringan..
”oya, bagaimana kabar zaujah? Ikut jadi relawan kah? Keponakan? Sudah ada kabarnya akan hadir?”
”zaujah baik, tidak ikut, keponakan apa?” suara dari telfon menjawab dengan suara berat
”ya keponakan dari kakak dan zaujah lah, masa dari adek..” sahabatku menjelaskan dengan riang sambil tersenyum ke arahku, dia memang terbiasa saling memanggil dengan lawan bicaranya itu dengan panggilan kakak-adek.
Hmmm,, aku tau dia sedang berusaha menjadi biasa, akupun tersenyum ke arah sahabatku itu
”belum..” suara yang dari sebrang semakin berat
”kenapa?? Waaaah.. padahal saya sudah menyiapkan nama untuk di sumbangkan nih..” wajah inonsen itu kembali menoleh ke arahku, aku menangkap sedikit ekspresi iseng di wajahnya, aku menggeleng dengan maksud jangan dilanjutkan untuk bercanda lagi,,
”dek, apa yang harus kakak lakukan??”
Tiba-tiba suara lelaki di telfon itu bertanya..
”maksud kakak?” sahabatku balik bertanya tidak mengerti
”kakak tidak bisa mencintai istri kakak..” jawab laki-laki itu mengejutkan kami
”bukan tidak bisa kak, tapi belum bisa, maksud saya kakak hanya belum menyadarinya..” sahabatku berusaha menyanggah dengan bijak
”kakak sadar dek, dan kakak merasa sangat berdosa, kakak salah..” suara lelaki itu berusaha bertahan dengan pernyataannya. Aku menjadi tidak simpati
”dengan kesadaran dan rasa bersalah itu berarti kakak mencintai istri kakak” sahabatku mengingatkan dengan tegas. Aku mengacungkan jempol untuknya
”kakak tidak merasakan seperti yang adek simpulkan, kakak merasa bersalah karna kakak benar-benar tidak bisa mencintai istri kakak padahal kakak sudah berusaha..”lelaki itu masih tetap keukeuh
”seharusnya kakak terus berusaha, bukan hanya sekedar sudah berusaha, dia istrinya kakak, amanahnya kakak, dan mencintai istri adalah kewajiban kakak sebagai seseorang yang telah berikar sebagai suaminya, apapun alasannya, kakak harus tetap berusaha semampu mungkin untuk terus berjuang sampai kakak bisa mencintainya, ato kakak mati dalam perjuangan kakak untuk mencintai istri kakak tersebut..!!” suara sahabatku kini terdengar lebih tegas
Hening..
”bukankah kah kakak sudah mengakui kebaikan dan kebaktian istri kakak? Kakak juga mengakui tidak ada yang cela dalam dirinya yang akan membuat kakak boleh memisahnya, sebagai seorang wanita istri kakak sempurna dengan kecantikan, kecerdasan, dan kebaikannya, selain hak nya sebagai istri untuk dicintai suaminya, sebagai seorang wanita pun istri kakak sudah sangat layak untuk dicintai, jadi tidak ada alasan bagi kakak untuk berfikir berhenti berusaha mencintainya..!!” semakin tegas dan menggurui, aku hanya menatapnya awas.
Sepi..
Aku berusaha melihat kedalam mata sahabatku, ada yang menggenang dan akan tumpah, aku segera mengisyaratkan untuk menyudahi pembicaraan dan menutup telfon.
”kakak semestinya bisa lebih rasional berfikir dari adek tentang hal ini.. bukan terbawa perasaan mellow yang hanya akan menyakiti kakak sendiri, dan lebih-lebih menyakiti istri kakak, juga semua keluarga kakak jika mengetahui hal kakak yang seperti ini..” suara sahabatku terdengar lebih terkendali sekarang, dan lelaki di telfon itu masih terdiam.
”adek yakin kakak sadar ketika mengambil keputusan untuk menerima pernikah itu beberapa waktu lalu, dan adek percaya ketika itu kakak memiliki keyakinan untuk bisa mencintai istri kakak selanjutnya sehingga berani menerima tanggung jawab sebagai suaminya. Dan seharusnya kakak tetap berada dalam keyakinan itu sampai akhirnya kakak menang atas apa yang kakak yakini. Adek tetap percaya kakak orang yang bertanggung jawab atas apa yang sudah menjadi pilihan kakak.!” kali ini kalimat itu terdengar lebih menekan.
”well, sekali lagi, adek hanya mau mengingatkan bahwa dia sudah menjadi istri kakak dan tidak ada seorangpun yang lebih wajib untuk mencintainya selain kakak. Dan sebagai suami kakak bertanggung jawab untuk harus mencintai istri kakak. Itu saja.!”
Ketegasan yang sempurna dear.. aku bergumam dalam hati.
Tepat saat itu adzan ashar terdengar, dan jeda hening itu membuatku luput memperhatikan sahabatku menyudahi ”ceramah munakahatnya” kepada lelaki yang menelfonnya.
Sahabatku terduduk lemah dengan kepala tertunduk dipinggir tempat tidur, aku merengkuh bahunya dan membawa kepalanya kedalam dekapan ku..
”kamu tlah melakukan hal yang benar honey..” bisik ku meyakinkan
Dua butir bening menetes jatuh kelenganku yang mendekap kepalanya..
Aku berusaha mengalirkan energi untuk menguatkannya, karna aku tau sahabatku itu telah menguras tenaganya bergulat dengan emosi selama ”ceramah” via telfon tadi.

Sungguh, aku hanya semakin tidak mengerti ada apa dengan lelaki seperti di telfon itu, bukan hanya lelaki itu, tapi beberapa yang aku ketahui seperti itu, lelaki yang menyerah dalam usaha untuk mencintai orang yang paling harus dicintainya hanya karna alasan-alasan mellow, hanya karna ada nama lain yang lebih dulu mengisi hatinya sebelum mereka bertemu istri-istri mereka.
Aku jadi bertanya-tanya bagai mana bisa mereka berani menerima amanah-menikahi-dengan mitsaqon gholidzo sebesar gunung tursina itu tanpa meyakini bahwa mereka akan bisa mencintai.
Ato kalopun pada awalnya mereka yakin bisa lalu kenapa menyerah pada keyakinan, padahal alasan-alasan untuk mereka mencintai istri-istri mereka sangat banyak.
Naifnya hal itu terjadi pada mereka yang faham dan mengerti konsep syari’at dan sadar akan tanggung jawab.
Perhitungan secara fakta dan logika begitu kuat untuk membuat mereka tidak layak berkata ”aku tidak bisa mencintai istriku”

Terakhir akupun bertanya : ”apakah sudah menjadi hukum bagi ”rasa” untuk membuat seseorang menjadi ”bodoh”??”

WAllahua’lam..

Note : ada begitu banyak hal yang belum bisa sunis mengerti dan fahami dengan baik dari kasus-kasus seperti di atas, yang jelas sunis berharap siapapun yang membaca tulisan sunis ini semoga berkenan berbagi dan memberi perluasan pandangan.
Well, tentu saja kita berharap agar apa yang tidak kita inginkan tidak terjadi pada kita. Maka Semoga ALLAH melindungi kita semua dan menganugrahkan kita sosok ”belahan jiwa” yang kita cintai dan mencintai kita dengan Ridho-NYA, Amiin Ya ROBB..
Mohon dengan sangat..

( untuk sahabat yang dengannya aku melewati setengah dari usiaku, kita tlah melewati begitu banyak masa-masa sulit pada waktu sebelumnya, maka begitu juga untuk yang esok dan seterusnya. Ingat kita sering bilang apa..?? ”kita kan kuaaaaaaaaaaaaaaatttttt..!! Tetap Semangat..!!” :) )

Tidak ada komentar: