Sabtu, 24 Oktober 2009

Mata Yang Selalu Bercahaya..

( Tulisan Fiksiku yang ke-2 :) )

Setiap kali melihat sosok itu, aku selalu terpaku pada matanya, ya.. matanya yang selalu berbinar memancarkan semangat. Dimana pun dan kapanpun aku menemukannya, mata itu selalu saja berkilau dan memukau, sering kali aku hanya tertegun memperhatikan setiap gerak-geriknya yang lincah kesana-kemari, bolak-balik dengan energi yang seakan tak ada habisnya dan tentu saja dengan sorot mata yang bercahaya menandakan betapa ringan dan senangnya ia dengan semua apa yang ia lakukan.
Kehadiran pemilik mata cahaya itu selalu menjadi nuansa yang lebih disetiap tempat yang didatanginya, dan pada setiap orang yang bertemu dengannya. aku teramat sangat sering menemukannya berada diantara orang-orang yang sebelumnya lesu dan tak bersemangat, dan ketika ia datang, orang-orang itu tiba-tiba saja menjadi ramai dan ceria, karna ia selalu berhasil menghidupkan suasana.
Pun orang-orang yang bertemu dengan nya meski baru pertama kali, aku kerap menemukannya berbincang akrab dan tengah merengkuh hangat seseorang yang aku tau pasti baru saja dikenalnya beberapa saat sebelumnya, dan jikapun orang yang bertemu dengannya saat itu tengah digelayuti mendung diwajahnya, maka setelah ia bertemu dengan simata cahaya, mereka akan turut berbinar dibuatnya.
Aku selalu mengagumi sosok itu dalam setiap moment yang mempertemukan ku dengannya.
Hingga pada satu kesempatan, aku memberanikan diri menyapa nya, ” bolehkah aku bertanya sesuatu?”
Pemilik mata cahaya itu pun tersenyum dan menatapku sungguh-sungguh dengan sorot cahaya dimatanya yang aku kagumi, ” tentu saja boleh..” jawabnya ringan.
”kenapa mata mu selalu bercahaya?” tanyaku lugu
Ia kembali tersenyum dan menatapku makin lekat, lama..
”karna aku suka melihat mata setiap orang yang aku temui bercahaya, seperti halnya ketika aku bertemu dengan mu, lihat lah.. matamupun begitu bercahaya, kau mengerti.?”
Ia masih mengukir senyum itu untuk ku, dan aku melihat cahaya dimata itu seakan tertinggal juga dimataku, dan sosok itu makin berbinar dengan mata nya yang selalu bercahaya..
”aku mengerti..” jawabku pasti, sambil tersenyum.


( Untuk I***n san, Arigato.. Mata Cahaya dan Semangat yang tak pernah padam itu, aku akan selalu mengingatnya.. Jaiyo..!! :) )

Kamis, 22 Oktober 2009

Lelaki Karang dan Mimpi Semesta ( Note : ini Tulisan Fiksi Pertamaku :) )

Pertama kali melihatnya, Lelaki itu tengah duduk di ujung batu karang menatap jauh ke laut lepas, dan sesekali menengadah ke angkasa dengan tatapan membumbung tinggi melewati batas yang mampu aku imajinasikan..
Awalnya aku tidak peduli, karna hatiku terlalu kabut saat itu, dan aku hanya berdiri di pinggir pantai, di atas hamparan pasir putih dibawah batu karang kokoh yang tengah diduduki lelaki tersebut, dan ia pun terlihat mengabaikan ku.
Di senja pertama kami bertemu, tak ada tegur sapa, hanya kesibukan dengan pikiran masing-masing, hingga aku tidak sadar ia tlah lebih dulu beranjak meninggal kan tempatnya. Saat aku menoleh kembali mencari sosoknya, aku melihat sesuatu tertinggal di tempat ia duduk, aku mendekat dan menemukan selembar kertas tergeletak bersama pena di atasnya, ragu aku meraihnya, membaca beberapa baris dari tulisan yang ada, aku tertegun, ”ini catatan lelaki tersebut, tentang mimpi-mimpi nya, dan apa yang ia butuhkan untuk mewujudkan mimpi-mimpi itu, lelaki itu pasti sangat membutuhkannya, aku akan memberikannya besok” batin ku, lalu beranjak meninggalkan pantai yang mulai gelap.
Senja berikutnya, aku menemukan lelaki itu kembali ditempat yang sama, diatas batu karang, dan tengah menengadah ke angkasa, ”ia tak ingin di usik” pikirku, dan menahan langkah untuk mendekati dan memberikan lembaran kertasnya yang tertinggal. Aku memutuskan untuk duduk ditempatku yang kemarin, membaca kembali kertas milik lelaki tersebut, ”Mimpi-mimpi Semesta” aku menyimpulkan, aku Salud.
Hingga senja tenggelam, aku masih belum memiliki keberanian untuk mendekati lelaki pemilik lembaran mimpi itu. Aku hanya menatapnya dari tempatku, dan lelaki itu tak menyadarinya, ”syukurlah..” aku merasa aman, dan beranjak lebih dulu meninggalkan pantai yang sunyi.
Senja selanjutnya, aku tak menemukan lelaki itu ditempatnya, aku genapkan seluruh pandanganku mengitari pantai mencari sosoknya, tapi tak terlihat, aku mulai berprasangka, ”mungkin lembaran mimpi ini memang sudah tidak dibutuhkan nya lagi sehingga ia meninggalkan nya dan ia tak kan kembali lagi..”
Aku membuka kembali lembaran itu, ”bagaimanapun juga, ini bukan milikku, aku akan mengembalikannya ketempatnya” aku meyakinkan diri, lalu meletakkan lembaran mimpi itu di tempat aku menemukannya pada hari sebelumnya, bersama pena di atasnya, agar lembaran itu terjaga dari tiupan angin. Aku beranjak..
”terimakasih, kamu tlah menemukan dan mengembalikan nya untuk ku..” satu suara berat menghentitkan ku saat hendak melangkah lebih jauh, aku berbalik ke arah suara yang datang, ”lelaki itu.!” hatiku tidak bisa menyembunyikan keterkejutan dan kelegaan, seakan terlepas dari beban amanah.
aku menganggukkan kepala dengan sebaris senyum tipis, ”maaf membuat anda mencarinya” jawabku berusaha santun.
Dan lelaki itu pun memberiku sebaris senyum seperti yang aku berikan, sejenak aku tertegun. Lelaki itu, begitu teduh dengan sikapnya..
”kenapa?” satu tanya tertuju untuk ku dari lelaki yang kini tengah memegang lembaran mimpi itu.
”anda meninggalkan lembaran sepenting itu beberapa hari lalu, anda tidak sengaja melakukannya bukan?” tanya ku gugup.
Lelaki itu kembali tersenyum lagi, ”tentu saja tidak, saya hanya sedikit lupa, karna pikiran saya tlah membawa semua apa yang tlah saya tuliskan didalam lembaran ini..” jelasnya.
”oh ya, saya mengerti,,” kali ini aku mengangguk dan tersenyum lebih banyak untuknya.
Sejenak aku melihat tatapan nya mengarah padaku, ”Telaga.!” aku kembali tertegun, mata itu, begitu dalam dan tenang, dengan garis wajah yang begitu kuat-tepatnya aku melihat garis tekad yang begitu kuat-seperti karang yang didudukinya, sesuai dengan mimpi semesta yang ditulisnya, aku yakin aku tidak tengah tersugesti atas apa yang pernah aku baca dari lembarannya yang tertinggal.
”terimakasih..” ucap lelaki itu, juga dengan senyum yang lebih mengembang.
”anda membaca apa yang saya tulis?” lelaki karang itu bertanya padaku, aku mengangguk kan kepala dengan jujur.
Oya, aku mulai menemukan nama yang tepat untuk sosok lelaki itu, ya.. lelaki karang, tepat untuk menguatkan tekad dan mimpi semesta yang tengah ia bangun dalam hatinya. Aku tersenyum dalam hati menyadari nama yang aku berikan untuk lelaki itu.
”apa anda berkeberatan?” aku merasa bersalah
”sama sekali tidak..” jawabannya melegakan ku.
”terimakasih..” aku tersenyum senang.
”berkenan menemani saya bersama senja disini?” lelaki karang itu menawariku santun, aku merasa gugup, bagaimanapun , ia masih asing bagiku,,
”terimakasih, mungkin kali lain, saya masih ingin menikmati senja ditempat saya yang biasa, disana..” aku menjawab sesantun mungkin untuk tidak menyinggungnya sambil menunjukkan ke bawah, kehamparan pasir disamping karang yang tengah kami tempati berdiri.
Sejenak aku melihat kabut melintas dimata telaganya, aku tersentuh, tapi aku sudah menolak, aku segan..
”baiklah.. semoga besok anda berkenan, mungkin ada banyak hal yang bisa kita bagi dari mimpi-mimpi yang kita miliki” lelaki itu bijak dan berharap.
”saya tidak punya mimpi, saya hanya punya banyak cerita..” aku merasa tak pantas
” saya ingin mendengar anda bercerita..” Lelaki karang itu tersenyum padaku, aku merasa dihargai.
”terimakasih, saya akan menemani anda besok, senang anda membuat saya merasa ada..” aku berucap tulus, sambil menganggukkan kepala, berbalik dan beranjak meninggalkan nya setelah lelaki itu membalas anggukan kepalaku disertai ucapan ”silahkan..”

Senja itu, menjadi awal bagi ku dan lelaki karang itu menjadi sahabat yang saling belajar-tepatnya aku yang lebih banyak belajar.
Kami-aku dan lelaki karang-itu meluangkan waktu untuk duduk bersama-tepatnya aku mengunjungi singgasana karang nya untuk berbagi, dan ia selalu menyambut kunjungan ku dengan wajah cerah dan kalimat yang sama, ”ada cerita apa hari ini..?”
Dan selanjutnya dengan penuh semangat aku akan memulai ceritaku, tentang kepiting yang aku lihat, kerang-kerang yang aku kumpulkan, pasir-pasir yang aku buat istana, juga jilatan ombak yang membasahi kaki ku, tentang dunia dibawah singgasana karangnya yang belum sempat ia sentuh.
Hingga pada kesempatan selanjutnya, aku tak lagi menceritakan dunia bawah singgasana karang saja, tapi juga dunia lain dari milikku, dan lelaki itu selalu menyediakan dirinya untuk mendengarku. Dengan sikap tenangnya dan tanpa banyak bicara, ia selalu menyimak setiap ceritaku, lalu di akhir pertemuan lelaki itu akan membekaliku dengan pesan-pesannya yang menyemangatiku, juga menyelipkan sebaris mimpinya di ujung ingatanku setelah memberikan responnya terhadap cerita-ceritaku.
Lelaki itu membuatku merasa nyaman untuk memberitaunya tentang apa saja, bahkan jika aku sedang ingin menumpahkan air mata atas duka yang aku temukan dalam perjalanan ku. Ia selalu ada, tepatnya berusaha ada untuk mendengar semua ceritaku. Dan entah sejak kapan, pikiranku membentuk satu kesimpulan, bahwa lelaki karang itu ditakdirkan ada untuk menjadi pendengar setiaku, hingga aku menjadi lupa bahwa awalnya ia memintaku membersamainya untuk berbagi tentang mimpi-mimpi semestanya.

Hingga pada satu senja, aku menemukannya tengah menatap angkasa saat aku hendak datang untuk bercerita, dengan sikap seperti pertama kali aku melihatnya, begitu terpaku, dengan pandangan tanpa batas. Aku memberanikan diri mendekat, tapi kehadiranku tak mengusiknya sedikitpun, aku hanya mengamatinya dari tempatku berdiri,,
”huuuuuuuuuuuuuuuuuufffffffffffffhhhhhhhhhh....”
Aku melihat lelaki karang itu menghela nafas, kali ini dengan mata terpejam. Aku terpaku..
”ROBB,, ini tidak biasanya..” aku membatin
Aku berusaha lebih dekat..
Mengamati ekspresinya, ”Mendung.!” hatiku tersentak. Aku semakin bertanya-tanya.
Selembar kertas tergeletak disampingnya, dengan pena. Gugup aku melancangkan diri meraihnya, membaca apa yang tertulis, masih tentang mimpi semestanya, aku merasa tersadar akan sesuatu, lelaki karang itu masih mendekap mimpinya, begitu kuat, bahkan makin kuat, karna tulisan itu makin tebal ia tuliskan di lembarannya.
Aku membaca kembali, ada catatan di akhir semua mimpi itu. Lelaki karang itu butuh sayap yang utuh untuk bisa terbang menyempurnakan langkah dalam perjalanan mewujudkan mimpi semestanya.
Mataku tiba-tiba basah, sesuatu menyesakkan dadaku, ”ROBB, selama ini aku begitu egois, aku melupakan keinginan lelaki karang dengan perjalanan meretas angkasa itu, aku hanya ingat permintaan nya yang ke dua-ingin mendengar ceritaku saja. Aku luput dengan harapan awalnya, berbagi mimpi. Aku benar-benar egois, karna aku merasa tak memiliki mimpi, dan tidak juga memahami mimpi semestanya, aku melupakan nya. Ah.. aku hanya mementingkan diriku sendiri,,” sesal itu memenuhi benak ku.
Sebutir bening jatuh di atas kertas yang aku pegangi, aku tersentak, dan lelaki karang itu terbangun..
”sudah lama..?” ia menyapaku datar..
Aku tertunduk menyembunyikan wajah, tanganku gemetar memegangi lembaran miliknya, lelaki itu meraih kertasnya dari tangan ku.
”kau membacanya.?” masih dengan suara datar.
Aku mengangguk lemah, makin bersalah..
Lelaki itu mengalihkan pandangannya dari ku, melihat jauh kedepan, ke laut lepas, tatapan itu begitu jauh, sangat jauh, melewati batas garis kaki langit dan ujung lautan yang mampu aku lihat..
Hening..
Dan aku mendengar angin berbisik padaku..
”pergilah, lelaki karang itu butuh banyak waktu untuk dirinya dan mimpi-mimpinya, dan kau tak kan bisa memahaminya, simpan semua ceritamu yang membuang energi dan hanya membebani perjalanan angkasanya, lelaki itu tlah meluangkan waktunya terlalu banyak hanya untuk ceritamu saja. Lihatlah.! ia tak lagi ingin mendengarmu, setidaknya untuk sekarang ini, mungkin sampai ia temukan sayapnya yang utuh untuk terbang, ato bahkan tidak sama sekali, karna setelah ia dapatkan sayapnya, ia akan fokus pada perjuangan mewujudkan mimpi semestanya, kau mengerti..??”
Hatiku teriris..
Perih..
Lebih perih dari cerita duka yang hendak aku ceritakan kembali pada lelaki karang yang selalu bersedia mendengarkan ku itu..
Mataku makin basah..
”ROBB, aku terlalu sibuk menerima kebaikan lelaki itu, dan kini ia tengah mencari sayapnya untuk terbang menyempurnakan langkah mewujudkan mimpi semestanya,,” dan aku tergugu dalam tangis yang entah..
Dilubuk terdalam, hatiku pun hujan, deras.. ”sekiranya aku diberi kesempatan untuk bisa memahami semua mimpi itu,,”
Senja yang mendung, dan matahari yang makin tenggelam..
Lelaki karang itu masih menatap ke kejauhan, diam, hening, dalam..
Dan aku makin tersedu dalam ruang paling sunyi di sudut hatiku..


( inspirasi senja di kawasan sundacer.. )

Selasa, 20 Oktober 2009

Ketika ”Rasa” dan ”Logika”..

Siang itu, aku tengah menikmati istirahat dikamar seorang sahabat sambil mendengarkan alunan nasyid-Maha Melihat- nya Opick dan Amanda dari Winamp Laptop, tiba-tiba ringtone soundtrack film religi yang lagi booming terdengar dari HP yang tergeletak disamping ku, aku melihat satu deret nomer tanpa nama, sahabat ku yang juga berada disampingku melihat layar dan sebaris kerutan terukir dikeningnya..
“siapa?” tanyaku..
Sahabatku mengangkat bahu dan mengangkat HP nya, beberapa detik kemudian terdengar sahabatku itu menjawab salam seseorang, dan sejenak tatapannya mengarah kepadaku sambil menyebut nama seseorang tanpa suara, aku lansung mengenal gerakan bibirnya untuk satu nama itu, nama seseorang yang beberapa waktu sebelumnya pernah ia ceritakan begitu detail padaku, seseorang yang pernah menyatakan diri untuk datang bersama keluarganya, tapi takdir tak memberi kesempatan untuk itu, aku tersenyum pada sahabatku dan memintanya mengaktifkan handsfree agar bisa turut mendengar percakapan mereka, sahabatku mengangguk dan satu suara bariton terdengar..
”apa kabar, sehat?” suara itu memulai percakapan
”alhamdulillah baik dan sehat..” sahabatku menjawab datar
Dan rentetan percakapan lainnya masuk kedalam sistem pendengaranku dengan teratur dan apa adanya, suara dari sebrang itu bercerita tentang aktifitasnya yang baru kembali dari suatu daerah yang beberapa waktu lalu terkena bencana gempa, pemilik suara tersebut menjadi relawan bersama tim medis lainnya.
Biasa,, aku membatin, dan aku merasa tidak ada yang perlu aku khawatirkan dari percakapan mereka, sampai beberapa saat setelah bercerita, aku mendengar sahabat ku bertanya dengan suara yang ringan..
”oya, bagaimana kabar zaujah? Ikut jadi relawan kah? Keponakan? Sudah ada kabarnya akan hadir?”
”zaujah baik, tidak ikut, keponakan apa?” suara dari telfon menjawab dengan suara berat
”ya keponakan dari kakak dan zaujah lah, masa dari adek..” sahabatku menjelaskan dengan riang sambil tersenyum ke arahku, dia memang terbiasa saling memanggil dengan lawan bicaranya itu dengan panggilan kakak-adek.
Hmmm,, aku tau dia sedang berusaha menjadi biasa, akupun tersenyum ke arah sahabatku itu
”belum..” suara yang dari sebrang semakin berat
”kenapa?? Waaaah.. padahal saya sudah menyiapkan nama untuk di sumbangkan nih..” wajah inonsen itu kembali menoleh ke arahku, aku menangkap sedikit ekspresi iseng di wajahnya, aku menggeleng dengan maksud jangan dilanjutkan untuk bercanda lagi,,
”dek, apa yang harus kakak lakukan??”
Tiba-tiba suara lelaki di telfon itu bertanya..
”maksud kakak?” sahabatku balik bertanya tidak mengerti
”kakak tidak bisa mencintai istri kakak..” jawab laki-laki itu mengejutkan kami
”bukan tidak bisa kak, tapi belum bisa, maksud saya kakak hanya belum menyadarinya..” sahabatku berusaha menyanggah dengan bijak
”kakak sadar dek, dan kakak merasa sangat berdosa, kakak salah..” suara lelaki itu berusaha bertahan dengan pernyataannya. Aku menjadi tidak simpati
”dengan kesadaran dan rasa bersalah itu berarti kakak mencintai istri kakak” sahabatku mengingatkan dengan tegas. Aku mengacungkan jempol untuknya
”kakak tidak merasakan seperti yang adek simpulkan, kakak merasa bersalah karna kakak benar-benar tidak bisa mencintai istri kakak padahal kakak sudah berusaha..”lelaki itu masih tetap keukeuh
”seharusnya kakak terus berusaha, bukan hanya sekedar sudah berusaha, dia istrinya kakak, amanahnya kakak, dan mencintai istri adalah kewajiban kakak sebagai seseorang yang telah berikar sebagai suaminya, apapun alasannya, kakak harus tetap berusaha semampu mungkin untuk terus berjuang sampai kakak bisa mencintainya, ato kakak mati dalam perjuangan kakak untuk mencintai istri kakak tersebut..!!” suara sahabatku kini terdengar lebih tegas
Hening..
”bukankah kah kakak sudah mengakui kebaikan dan kebaktian istri kakak? Kakak juga mengakui tidak ada yang cela dalam dirinya yang akan membuat kakak boleh memisahnya, sebagai seorang wanita istri kakak sempurna dengan kecantikan, kecerdasan, dan kebaikannya, selain hak nya sebagai istri untuk dicintai suaminya, sebagai seorang wanita pun istri kakak sudah sangat layak untuk dicintai, jadi tidak ada alasan bagi kakak untuk berfikir berhenti berusaha mencintainya..!!” semakin tegas dan menggurui, aku hanya menatapnya awas.
Sepi..
Aku berusaha melihat kedalam mata sahabatku, ada yang menggenang dan akan tumpah, aku segera mengisyaratkan untuk menyudahi pembicaraan dan menutup telfon.
”kakak semestinya bisa lebih rasional berfikir dari adek tentang hal ini.. bukan terbawa perasaan mellow yang hanya akan menyakiti kakak sendiri, dan lebih-lebih menyakiti istri kakak, juga semua keluarga kakak jika mengetahui hal kakak yang seperti ini..” suara sahabatku terdengar lebih terkendali sekarang, dan lelaki di telfon itu masih terdiam.
”adek yakin kakak sadar ketika mengambil keputusan untuk menerima pernikah itu beberapa waktu lalu, dan adek percaya ketika itu kakak memiliki keyakinan untuk bisa mencintai istri kakak selanjutnya sehingga berani menerima tanggung jawab sebagai suaminya. Dan seharusnya kakak tetap berada dalam keyakinan itu sampai akhirnya kakak menang atas apa yang kakak yakini. Adek tetap percaya kakak orang yang bertanggung jawab atas apa yang sudah menjadi pilihan kakak.!” kali ini kalimat itu terdengar lebih menekan.
”well, sekali lagi, adek hanya mau mengingatkan bahwa dia sudah menjadi istri kakak dan tidak ada seorangpun yang lebih wajib untuk mencintainya selain kakak. Dan sebagai suami kakak bertanggung jawab untuk harus mencintai istri kakak. Itu saja.!”
Ketegasan yang sempurna dear.. aku bergumam dalam hati.
Tepat saat itu adzan ashar terdengar, dan jeda hening itu membuatku luput memperhatikan sahabatku menyudahi ”ceramah munakahatnya” kepada lelaki yang menelfonnya.
Sahabatku terduduk lemah dengan kepala tertunduk dipinggir tempat tidur, aku merengkuh bahunya dan membawa kepalanya kedalam dekapan ku..
”kamu tlah melakukan hal yang benar honey..” bisik ku meyakinkan
Dua butir bening menetes jatuh kelenganku yang mendekap kepalanya..
Aku berusaha mengalirkan energi untuk menguatkannya, karna aku tau sahabatku itu telah menguras tenaganya bergulat dengan emosi selama ”ceramah” via telfon tadi.

Sungguh, aku hanya semakin tidak mengerti ada apa dengan lelaki seperti di telfon itu, bukan hanya lelaki itu, tapi beberapa yang aku ketahui seperti itu, lelaki yang menyerah dalam usaha untuk mencintai orang yang paling harus dicintainya hanya karna alasan-alasan mellow, hanya karna ada nama lain yang lebih dulu mengisi hatinya sebelum mereka bertemu istri-istri mereka.
Aku jadi bertanya-tanya bagai mana bisa mereka berani menerima amanah-menikahi-dengan mitsaqon gholidzo sebesar gunung tursina itu tanpa meyakini bahwa mereka akan bisa mencintai.
Ato kalopun pada awalnya mereka yakin bisa lalu kenapa menyerah pada keyakinan, padahal alasan-alasan untuk mereka mencintai istri-istri mereka sangat banyak.
Naifnya hal itu terjadi pada mereka yang faham dan mengerti konsep syari’at dan sadar akan tanggung jawab.
Perhitungan secara fakta dan logika begitu kuat untuk membuat mereka tidak layak berkata ”aku tidak bisa mencintai istriku”

Terakhir akupun bertanya : ”apakah sudah menjadi hukum bagi ”rasa” untuk membuat seseorang menjadi ”bodoh”??”

WAllahua’lam..

Note : ada begitu banyak hal yang belum bisa sunis mengerti dan fahami dengan baik dari kasus-kasus seperti di atas, yang jelas sunis berharap siapapun yang membaca tulisan sunis ini semoga berkenan berbagi dan memberi perluasan pandangan.
Well, tentu saja kita berharap agar apa yang tidak kita inginkan tidak terjadi pada kita. Maka Semoga ALLAH melindungi kita semua dan menganugrahkan kita sosok ”belahan jiwa” yang kita cintai dan mencintai kita dengan Ridho-NYA, Amiin Ya ROBB..
Mohon dengan sangat..

( untuk sahabat yang dengannya aku melewati setengah dari usiaku, kita tlah melewati begitu banyak masa-masa sulit pada waktu sebelumnya, maka begitu juga untuk yang esok dan seterusnya. Ingat kita sering bilang apa..?? ”kita kan kuaaaaaaaaaaaaaaatttttt..!! Tetap Semangat..!!” :) )